Riana
(Cermin -Cerita Mini )
(Cermin -Cerita Mini )
Sudah sebulan Dia tak menyapaku. Ku rasakan rindu ini telah membuncah hampir tak terbendung. “Adakah Dia juga merasakan sperti perasaan ku ?” pikirku. Mungkin inilah takdir ku, sebuah kisah yang bisa menjadi pelajaran bagi siapapun bahwa “tak selamanya mimpi itu indah”. Riana, nama yang hampir tak pernah luput kusebut di jaga dan mimpi ku. Kalau ku ingat maka tangal 20 Agustus lalu itu lah yang mengawali cerita ini. Sebuah sms biasa namun berakhir dengan kisah yang di luar nalar manusia, paling tidak bagi ku. Komunikasi mengubah segalanya meski kepala dan mata ini tahu persis siapa Dia.
Siapa yang mau jadi pecundang, begitu pula aku. Hanya seorang kampungan yang coba menentang badai demi menuju sebuah mimpi yang diyakini. Tak ada yang jadi andalan hanya ada tampang pas-pasan. Apa tak pernah ngaca atau tak punya uang tuk membeli kaca?. But whateverlah ! toh hidup adalah mencoba, dan itulah yang membuat semangat ku meninggi.
Entah kenapa, aku tak sial-sial amat, toh ternyata aku dapat sinyal positif darinya dan tentu saja back street menjadi solusinya. Yach..namanya juga sembunyi, mungkin aku berkepala batu karena orang-orang terdekatnya langsung memvonis tuk segera mengakhiri semua. Namanya juga kepala batu nasehat itu masuk telinga kiri keluar telinga kiri pula dan aku makin bersemangat berkeliaran di back street ku.
Hari kian berlalu dan berbagai rintangan dapat di lalui. Hingga hati ini semakin cinta dengan hati buta. Dan ini hanyalah sebuah permulan, jalan landai yang segera menanjak terjal.
Akhirnya ku tersandung jua, di saat ku benar-benar tak bisa jauh darinya. Ibarat layang-layang yang t’lah terbang tinggi enggan tuk turun tiba-tiba harus putus dan tak berdaya. Hati kecilku telah diberontak oleh perasaan ingin memilikinya, dan sungguh diri ini benar-benar lupa akan status “aku bukan siapa-siapa”. Perasaan yang mungkin wajar bagi seorang yang sedang melayang.
Hari-hari pikiran ku tak tenang, kala sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Ada yang lebih dipilihnya dibanding aku, sungguh sebuah kenyataan pahit bahwa cinta hanya lah sebuah permainan membandingkan dia atau dia. Setiap waktu kesedihan mengaduk isi kepala ku ada rindu, sedih, dan kemarahan saat namanya disebut. Rindu pada cintanya, sedih akan kehilangannya dan marah entah pada siapa yang telah mempermainkan hati manusia.
Seribu cara yang ku pikirkan hanya berbuah kehampaan. “Riana, oh Riana” aku hanya bisa membisikkannya dalam hatiku. Nama yang dulu selalu ku bisikkan ditelingnya saat berada di dekatnya. Sungguh ku tak kuasa bila dia membenciku apalagi jika harus mengakhiri semua dengan perpisahan. Bukan kah manusia harus berusaha? Salahkah jika ku berusaha memperjuangkan cintaku?. Ataukah cinta itu hanya milik orang tertentu yang telah ditunjuk sang idaman hati tanpa perlu harus mencari? Aku ragu pada waktu, apakah dia yang membohongi ku?, dan sia-siakah bila aku hanya meraih gelar pecundang dalam perjuangan ku? Sungguh aku tak tau.
Oh, inikah puncak hukuman ku? Diatas tiang pancung keputus asaan yang teringat hanya sebuah janji. Janji yang mungkin terukir diatas pasir hingga baginya sesaat telah lenyap disapu gelombang. Masih kurangkah tuk ku membuktikan, hilangkah semua perasaan, haruskah ku tetap mengalah dan terus mengalah.
Riana, kau lah jawabnya....
Oleh : mj
Siapa yang mau jadi pecundang, begitu pula aku. Hanya seorang kampungan yang coba menentang badai demi menuju sebuah mimpi yang diyakini. Tak ada yang jadi andalan hanya ada tampang pas-pasan. Apa tak pernah ngaca atau tak punya uang tuk membeli kaca?. But whateverlah ! toh hidup adalah mencoba, dan itulah yang membuat semangat ku meninggi.
Entah kenapa, aku tak sial-sial amat, toh ternyata aku dapat sinyal positif darinya dan tentu saja back street menjadi solusinya. Yach..namanya juga sembunyi, mungkin aku berkepala batu karena orang-orang terdekatnya langsung memvonis tuk segera mengakhiri semua. Namanya juga kepala batu nasehat itu masuk telinga kiri keluar telinga kiri pula dan aku makin bersemangat berkeliaran di back street ku.
Hari kian berlalu dan berbagai rintangan dapat di lalui. Hingga hati ini semakin cinta dengan hati buta. Dan ini hanyalah sebuah permulan, jalan landai yang segera menanjak terjal.
Akhirnya ku tersandung jua, di saat ku benar-benar tak bisa jauh darinya. Ibarat layang-layang yang t’lah terbang tinggi enggan tuk turun tiba-tiba harus putus dan tak berdaya. Hati kecilku telah diberontak oleh perasaan ingin memilikinya, dan sungguh diri ini benar-benar lupa akan status “aku bukan siapa-siapa”. Perasaan yang mungkin wajar bagi seorang yang sedang melayang.
Hari-hari pikiran ku tak tenang, kala sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Ada yang lebih dipilihnya dibanding aku, sungguh sebuah kenyataan pahit bahwa cinta hanya lah sebuah permainan membandingkan dia atau dia. Setiap waktu kesedihan mengaduk isi kepala ku ada rindu, sedih, dan kemarahan saat namanya disebut. Rindu pada cintanya, sedih akan kehilangannya dan marah entah pada siapa yang telah mempermainkan hati manusia.
Seribu cara yang ku pikirkan hanya berbuah kehampaan. “Riana, oh Riana” aku hanya bisa membisikkannya dalam hatiku. Nama yang dulu selalu ku bisikkan ditelingnya saat berada di dekatnya. Sungguh ku tak kuasa bila dia membenciku apalagi jika harus mengakhiri semua dengan perpisahan. Bukan kah manusia harus berusaha? Salahkah jika ku berusaha memperjuangkan cintaku?. Ataukah cinta itu hanya milik orang tertentu yang telah ditunjuk sang idaman hati tanpa perlu harus mencari? Aku ragu pada waktu, apakah dia yang membohongi ku?, dan sia-siakah bila aku hanya meraih gelar pecundang dalam perjuangan ku? Sungguh aku tak tau.
Oh, inikah puncak hukuman ku? Diatas tiang pancung keputus asaan yang teringat hanya sebuah janji. Janji yang mungkin terukir diatas pasir hingga baginya sesaat telah lenyap disapu gelombang. Masih kurangkah tuk ku membuktikan, hilangkah semua perasaan, haruskah ku tetap mengalah dan terus mengalah.
Riana, kau lah jawabnya....
Oleh : mj