Minggu, 25 Mei 2014

Seminggu Tanpa Sinyal Hp

Seminggu tanpa menjamah yang namanya internet memang terasa sangat berbeda, bagi sebagian orang mungkin tidak masalah namun bagi saya hidup berasa ada yang kurang seolah-olah terasa janggal. Berawal dari di tugaskannya saya di sebuah desa bernama Tumbang Baraoi, disitulah yang handphone/hp saya menjadi tidak berharga. Jangankan untuk browsing internetan, untuk sms saja tidak bisa apalagi telpon.

Kecamatan Petak Malai


Tumbang Baraoi, adalah salah satu desa yang menjadi ibu kota kecamatan Petak Malai. Sebuah kecamatan baru hasil pemekaran dari kecamatan Sanaman Mantikei Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Meski sudah berusia kurang lebih 7 tahun, namun perkembangan kecamatan ini relatif lambat. Salah satu faktor penghambatnya adalah jalan, sumber energi dan sarana komunikasi yang belum memadai.
Salah satu ruas Jalan Menuju Tumbang Baraoi
Hingga pertengahan tahun 2014 ini, aksesibilitas ke desa Tumbang Baraoi masih menggunakan jalur logging atau jalan perusahaan. Bagi yang pernah masuk ke jalan ini tentu bisa membayangkan betapa berisikonya perjalanan yang harus di tempuh. Selain "bertaruh nyawa" biaya perjalanannya pun terbilang mahal terlebih untuk pegawai kelas rendah seperti saya. Biaya dua kali PP bersama istri ke ibu kota kabupaten saja sudah cukup untuk menghabiskan gaji satu bulan, belum termasuk ongkos makan dan keperluan lainnya. Hal yang sama jika menggunakan jalur alternatif yaitu jalur sungai.
Akses jalan perusahaan
Wajar rasanya jika harga eceran kebutuhan pokok serta barang lainnya yang di di jual di desa ini menjadi berkali lipat di bandingkan di ibu kota kabupaten. Sebagai contoh jika harga bensin dan solar eceran di kabupaten berkisar Rp. 8 ribu/liter maka di desa ini mencapai Rp. 15 ribu/liternya. Kedua bahan bakar ini adalah sumber tenaga bagi ginset-ginset yang merupakan sumber energi listrik rumah-rumah di desa ini. Setiap solar/bensin bisa menyalakan ginset rata-rata sekitar 2-3 jam. Sehingga untuk mengalirkan listrik selama 6 jam saja setiap harinya menghabiskan biaya sekitar Rp. 900 ribu/bulan.

Mahalnya biaya hidup, sulitnya akses jalan dan sarana komunikasi serta belum memadainya sumber energi membuat pendatang kerap mengurungkan niatnya menetap di daerah ini. Bahkan jika saya bisa memilih rasanya saya pun ingin pergi dari desa ini. Namun karena tuntutan tugas dan pengabdian demi negara, rela berkorban. Semoga nasib kami di daerah terpencil ini bisa menggugah pemerintah untuk turut mengupayakan sarana dan prasarana di desa ini. Aamiin.

ARTIKEL TERKAIT:

mjumani, Updated at: Mei 25, 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 

mjumanion