Hutan Kahung
Ini adalah yang ke 6 kalinya saya mengadakan perjalanan ke Desa Belangian. Ada dua tujuan yang mendasari saya berangkat kesana kali ini , yang pertama untuk membantu teman mengambil sampel jamur untuk keperluan tugas penelitian, yang kedua untuk melihat-lihat plasma nuftah anggrek di sana untuk kedua kalinya.
Setelah memikirkan dan merencanakan segala sesuatunya termasuk transport, perbekalan dan lama perjalanan akhirnya kami memutuskan berangkat hanya berdua, sebab beberapa rekan yang biasa di ajak ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Selasa pagi kami bertolak dari Banjarmasin tepatnya sekitar pukul 10.15 waktu setempat, dengan rute Banjarmasin- banjarbaru – Aranio. Sekitar 11.50 kami tiba di dermaga Aranio. Sengaja kami berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan taksi kelotok (perahu motor) yang hanya ada 3 buah dan hanya beroprasi 1 kali setiap hari mengantar penumpang dari desa Belangian sekitar pukul 07.00 pagi dan kembali dari dermaga Aranio sekitar pukul 02.00 Siang hari, waktu keberangkatan ini tidak tetap tergantung penumpang, biasanya penumpang membuat janji terlebih dahulu jika agak terlambat ke dermaga agar tidak di tinggalkan taksi kelotok tersebut.
Setelah penumpang terakhir datang kelotok pun berangkat dari dermaga Aranio menuju dermaga Belangian, waktu itu sekitar pukul 02.11, perjalanan menempuh transport air yang berada di kawasan bendungan ini tidak kurang dari 90 menit. Setelah beberapa kali menurunkan penumpang akhirnya sampai juga ke Dermaga desa Belangian, sebuah desa yang terletak di sekitar Bendungan Riam Kanan, dan di huni kurang lebih 90 KK yang merupakan pintu masuk Hutan Lindung yang di kenal dengan Kahung.
Setelah mampir untuk melapor ke sekretaris desa kami berangkat tepat pukul 04.08 sore, tujuan kami adalah Hapunit, yaitu lokasi shelter kembar berada letaknya beberapa kilo sebelum memasuki hutan lindung Kahung. Perjalanan cukup enteng karena kami hanya membawa perbekalan secukupnya dan sungai penyebranganpun dalam kondisi surut Sebelum setengah enam kami sudah berada di shelter kembar. Setelah beristirahat sebentar kami mengumpulkan kayu bakar untuk keperluan memasak. Sejuk dan jernihnya air sungai membuat kami tak berlama-lama untuk segera terjun dan menikmati segarnya air yang mengalir dari pegunungan.
Dengan adanya shelter kami tak perlu mendirikan tenda untuk bermalam, dua shelter kokoh yang berdekatan tersebut bisa menjadi tempat berlindung lebih dari cukup dari panas maupun hujan. Di sekitar shelter ada beberapa pondok masyarakat setempat untuk mengawasi ladang dari gangguan binatang. Jika datang bertepatan dengan waktu panen kacang tanah, kita bisa menikmati kacang rebus sembari menyalakan api unggun, harga kacang tanah sekitar 50 rb per kaleng besar (masyarakat setempat menyebutnya balek ), atau menikmati jagung manis baik di bakar ataupun rebus. Selain kacang dan jagung masyarakat di sana juga bertanam cabe rawit dan padi.
Hari kedua disana adalah hari Rabu, tepatnya 14 April 2010, kami sempat berbincang-bincang dengan salah satu pemilik ladang di sekitar shelter. Dia juga sering diminta sebagai guide (pemandu) oleh pengunjung yang ingin menuju air terjun Lembah Kahung. Cuaca pagi itu mendung disertai gerimis, keasikan ngobrol sembari berdiang ternyata waktu sudah menunjukan pukul 12 siang.
Kami segera bergegas menyiapkan segala keperluan untuk berangkat menuju muara Hutan Kahung untuk mengambil beberapa sampel jamur yang di perlukan. Sesekali kami mengamati kaki kalau-kalau ada lintah (halimatak) yang menempel. Hutan yang lembab habis hujan dan cuaca mendung adalah kondisi yang cocok bagi Halimatak untuk keluar dari persembunyiannya untuk mencari mangsa.
Kesempatan berkunjung ke Hutan Kahung tidak kami sia-siakan untuk mengamati anggrek-anggrek spesies dan mengambil fotonya usai mengumpulkan sampel jamur. Sayang kamera yang kami bawa hanya kamera digital biasa sehingga anggrek yang menempel di pohon-pohon yang cukup tinggi tidak bisa kami abadikan dengan kamera. Beruntung kami menemukan beberapa anggrek yang jatuh di tanah dan tumbuhnya tidak terlalu tinggi sehingga kami tidak pulang dengan tangan hampa. Pada kesempatan ini pula saya tidak menyia-nyiakan berfoto dengan anggrek litofit yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan di tepian sungai.
Asyik berfoto da melihat keindahan anggrek alam membuat kami sempat terlena, kami segera bergerak pulang ke shelter untuk mandi dan berkemas kembali kedesa Belangian, tempat yang kami tuju adalah rumah sekretaris desa, rencananya kami akan bermalam dulu di beliau agar tidak ketinggalan kelotok yang berangkat besok paginya.
Hari sudah mulai gelap ketika kami meninggalkan shelter, jalan yang licin dan berlumpur serta gelap membuat kami harus ekstra hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Tantangan puncak perjalanan pulang ialah ketika menyebrangi sungai besar. Akibat hujan deras di bagian hulu air menjadi keruh dan kedalamannya menjadi lebih tinggi ,tidak hanya itu, arus sungaipun menjadi lebih deras. Mau tidak mau dengan penerangan seadanya kami harus menyebrang, perlahan kami mulai memasuki air, mulanya arus air tidak begitu menyulitkan namun semakin ketengah arus air semakin terasa kuat mendorong kami, sedikit saja terpeleset akibatnya akan fatal, arus sungai akan menyeret tubuh ke jeram yang terletak tidak jauh dari tempat kami menyebrang. Batu-batu sungai yang licin dan tas punggung yang terendam penyebrangan terasa lebih sulit. Alhamdulillah dengan perlahan kami berhasil melewati 1/3 badan sungai, arus sungai kian mulai melemah di bagian tepi penyebranganpun berhasil dengan selamat.
Sebenarnya ini bukan kali pertama kami menyebrangi sungai pada malam hari, sekitar 2 tahun lalu kami juga pernah meyebrangi sungai pada malam hari pada waktu yang kurang lebih sama, bedanya waktu itu kami menyebrang dari Desa menuju shelter dan pada masa itu penyebrangan masih menggunakan rakit bambu sehingga tidak perlu bercebur untuk menyebrangi sungai. Rakit tersebut hanyut sekitar setahun yang lalu akibat terjangan air bah, kini setiap pelintas harus menyebrangi sungai dengan bercebur.
Perjalanan relatif lancar hingga tiba di rumah Bapak sekretaris desa. Beliau dan keluarga sangat baik dan ramah terhadap kami. Keletihan membuat saya tidur cepat. Besok paginya kami di suguhi teh hangat dan pisang goreng sebelum berangkat ke dermaga belangian untuk pulang. Skitar pukup 6.40 menit kami berangkat ke dermaga belangian. Alangkah kagetnya kami, taksi kelotok yang biasa kami tumpangi sudah tidak adalagi, dari keterangan salah seorang pendudik setempat yang yang saat itu sedang menjaring ikan, ternyata taksi kelotok yang akan kami tumpangi berangkat lebih pagi. Kami kebingungan, kedua taksi kelotok yang beroprasi dari belangian - aranio sudah berangkat. Kami terancam menginap lagi satu malam jika tidak ada lagi taksi kelotok. Padahal keuanagan dan perbekalan sudah menipis. Untungnya di tengah kebingungan, masih ada satu buah taksi yang masih belum berangkat, taksi ini tidak berlabuh di dermaga melainkan di sungai dekat mesjid di desa Belangian, kamipun terselamatkan oleh taksi yang baru beroprasi beberapa bulan ini.
Sampai di pelabuhan Aranio kami bergerak kearah parkir untuk mengambil sepeda motor tentunya setelah membayar ongkos taksi kelotok sebesar 20 rb untuk dua orang. Biaya parkir sepeda motor 5 ribu permalam per kendaraan, tempat parkir ini biasanya selalu penuh apalagi setiap sabtu dan minggu dimana banyak pemancing dari berbagai daerah memancing di kawasan Riam Kanan ini.
Indonesian Native Orchids Society
ARTIKEL TERKAIT:
1 komentar:
Wisata alam yang sangat bagus....begitu agung ciptaan-Nya
Posting Komentar